Sabtu, 27 Juni 2009

Hari kemarin itu...


Assalamu’alaikum teman-teman….saya ingin berbagi cerita.

Subhaanallah, kemarin hari yang sangat berarti bagi saya. Hari itu saya belajar tentang kuasa Allah dan hikmah kehidupan.

Sore kemarin saya ke Souq As Syria (orang kita biasa menyebutnya Sukasirih—entah kenapa, mungkin biar serasa Indonesianis he..he ) untuk membeli daging sapi. Souq Assyiria adalah kawasan pertokoan segala macam kebutuhan, tak heran hari libur begini kawasan tersebut macet dan susah mencari tempat parkir (harus cari parkir sendiri, gak ada tukang parkir seperti di Indo). Setelah mencari-cari parkiran hampir setengah jam lamanya, Alhamdulillah akhirnya dapat juga, disamping sebuah Rawnaq (toko buku), di depan Money Changer. Dan kami benar-benar merasa beruntung karena pas di depan money changer itu ada sebuah ATM. Sebelum belanja, kami bermaksud mengambil uang dulu. Kebetulan kartu ATM ada di dompet saya, maka sayalah yang maju. Dengan tanpa melihat dulu layar monitor (cuaca masih panas, agak silau), saya masukkan kartu. Tapi kemudian macet, monitor ternyata error dan kartu tertelan. Ya Ilahi…akhirnya suami menelepon costumer servis dan ternyata kartu yang tertelan baru bisa kembali setelah 7 hari. Innalillahi, mana di dompet kami hanya ada beberapa real saja. Tapi kemudian kami agak lega saat tau masih bisa mengambil uang dengan buku.

Berkali-kali saya minta maaf, suami saya hanya bilang “lain kali mesti lebih hati-hati lagi…diliat dulu yang benar…” (cool banget). Beberapa orang yang bermaksud ambil uang juga, datang menghampiri dan bertanya kenapa? Is it work? Dll. Di tengah kebingungan begitu ada seseorang (sepertinya Bangladesh atau India) yang memakai baju seragam (saya awalnya kurang memperhatikan seragamnya), dia menghampiri kami dan bertanya kenapa sambil mengecek monitor. “masih butuh waktu” katanya. “Cari ATM lain”, katanya lagi. “Tapi kartu saya tertelan” kata suami. “Oh, siapa namamu”, katanya sambil masuk ke dalam gedung money changer. Setelah di jawab, kamipun mengikutinya ke dalam. Ternyata dia adalah petugas servis ATM, dan kartu ATM yang tertelan bisa dengan mudah dia ambil. “still servis” katanya tersenyum. Sontak kamipun berterimakasih berkali-kali, yang dibalas dengan senyuman tulus. Subhaanallah…

Ditengah kecemasan dan perasaan bersalah yang menumpuk. Ditengah panasnya udara summer yang membuat tubuh cepat letih. Dan ditengah kebingungan mesti melakukan apa. Ditengah awan mendung dan kesuraman kami, Allah menolong kami dan membalikkan semua keadaan…Subhaanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallah Allahu Akbar!
Ya Allah, betapa gagahnya Engkau… Kau ciptakan pelangi setelah hujan, hujan setelah kekeringan, hembusan angin ketika panas menyengat, malam dan siang, matahari serta bintang, dan semua yang membuat kami sadar akan keagunganMu.

Kau selalu memberikan perlindungan dalam ketakutan-ketakutan kami, jawaban dari kegelisahan-kegelisahan kami. Kau selalu mendengar pengaduan kami, keluh kesah kami, dan do’a-do’a kami.

Kau selalu mendengar, selalu menjawab, selalu melindungi, dan selalu mengabulkan segala permohonan, walaupun telah banyak maksiat yang kami lakukan. Walaupun banyak dosa yang belum kami Istigfarkan.” Ya Ilahi…ampuni kami…” dalam do’a dan keharuan, syukurku tak terhingga.

Petualangan dilanjutkan dengan mencari lagi mesin ATM. Ditengah udara sore saat summer begini, berjalan kaki seperti mandi sauna (bagus untuk saya he3) . Lumayan cukup lama kami berjalan (pipi faaza udah kemerahan), sebelum akhirnya menemukan mesin ATM dan membeli beberapa kilo daging. Alhamdulillah…

-----------
Malam selepas Isya kami bersilaturahmi ke rumah seorang teman yang baru datang dari Indo untuk mengisi liburan anak-anaknya. Sekalian ambil titipan teri medan dan baso super (jadi malu nih), juga berbagi siomay yang saya buat tadi siang. Saya datang bersama 2 keluarga lain. Ditengah asyiknya ngobrol ngalor ngidul, tiba-tiba bel pintu berbunyi dan satu keluarga dengan 2 anak laki-laki balita, datang berkunjung. Sang istri bergabung dengan kami para istri. “Siapa nih, belum kenal” bisik hati saya. “Dengan ibu siapa ini ya…baru ketemu” kata saya sambil salaman dan cipika cipiki. Belum terjawab pertanyaan, mata kami beradu pandang…Ya Ilahi…tubuh mungil, putih, dengan bentuk muka yang khas…tidak salah lagi, dia, pasti dia…

“Dyah…?” kata saya. Seperti saya, diapun terlihat kaget dan menyebutkan nama saya. Sekali lagi, kamipun berpelukan, kali ini lebih lama. Ternyata sahabat saya itu sudah hampir 2 tahun di sini, suaminya satu tempat kerja dengan abinya Faaza. Mereka bahkan sudah saling kenal, tanpa mengetahui istri-istri mereka adalah sahabat lama. Dyah udah punya 2 anak sekarang, usia 2 tahun dan hampir satu tahun. Sayapun mengenalkan anak semata wayang saya, Faaza yang sudah berusia 4 tahun dan sampai sekarang masih menunggu adik. :)

Malam itu, saya bertemu sahabat saya yang hampir 9 tahun tidak bertemu. Sahabat saat kuliah dulu, saat masih kurus dulu he3. Terbayang dulu saat kami berdua membagi-bagikan undangan pengajian ke komplek-komplek. Terbayang saat kami berdua berusaha mengantarkan surat izin tempat untuk sebuah acara. Terbayang saat kami ditolak oleh seorang bapak ketua DKM di sebuah perumahan elit karena disangka yang minta-minta sumbangan. “Maaf-maaf ya neng”, katanya sambil menepis-nepiskan tangan. Setelah dengan susah payah kami menerangkan maksud kedatangan kami, dan saya sodorkan kartu mahasiswa saya, si bapakpun mau menerima kami. Ah…

Ingat Dyah, ingat juga kelurganya yang baik. Ibu-bapaknya yang guru, kakak-kakanya yang shalihah dan adik bungsunya yang cantik. Sudah sering saya ke rumahnya dan mencicipi lezatnya masakan ibunya. Kulit tangkil dan tempe yang dimasak pedas manis…eumm.

Suatu kali, Dyah mengajak saya ke kebun kacang. “kita panen kacang yuk, mau gak?” katanya. Tentu saya iyakan, well…kacang rebus salah satu makanan paforit saya. Dengan sekali naik angkot, dan berjalan sebentar, kamipun sampai. Dan yang takkan terlupakan, kami 2 orang gadis kurus dengan jubah dan kerudung panjang, melepas kaos kaki dan langsung terjun ke medan pertempuran…eh, kebun kacang. Dengan semangat ’45 kami memanen kacang tanah dengan tangan kami sendiri, hanya berbekal pisau dapur. Tidak semua, hanya terkumpul sekita 5-6 kg saja, tenaga kami sudah terkuras. Dan hari itu, kami menikmati kacang rebus hasil panenan kami. Subhaanallah…

Hari kemarin, hari yang sangat berarti buat saya, hari saya benar-benar merasa Allah begitu dekat dengan saya. Allah selalu melindungi saya. Dan pertemuan saya dengan sahabat lama saya, lebih meyakinkan saya bahwa tidak ada yang mustahil di dunia ini jika kita beriman dan bertakwa…Amin. Jadi inget nasyidnya Raihan tentang Ash Habul Kahfi…”Laisa Filkauni muhallun ‘alaih, idza aamanna wattaqau…”

Al Wakrah, Qatar 26 Juni 2009