Sabtu, 14 Maret 2009

Review Novel

Apa kabar ibu yang shalihah…kali ini saya ingin bertukar informasi dan ngobrol-ngobrol santai tentang novel Syahadat Cinta. Sebetulnya sudah lama saya tidak membaca novel, apalagi yang ada cinta-cintaan tapi kebetulan suatu hari di rumah tetangga, saya liat sebuah novel, sayapun meminjamnya.


Selama membaca, beberapa kali saya mengerutkan kening. Selain jalan ceritanya yang menurut saya kurang masuk akal, ada beberapa hukum Islam yang berbeda dari yang selama ini saya pahami. Saya coba bersabar untuk membacanya sampai tamat dan berharap “kekeliruan” itu hanya karena si tokoh utama dalam novel itu belum mengenal Islam lebih baik. Berharap hal tersebut adalah kekeliruan yang disengaja pengarang untuk memperkuat kesan bagi tokoh utamanya. Tapi ternyata saya cukup kecewa karena sampai di halaman terakhir tidak ada pengembalian pemahaman seperti yang saya harapkan. Dan akhirnya yang saya tangkap justru si penulis ingin menggiring pembacanya untuk menerima beberapa hukum Islam menurut perspektif dia.
Penasaran, saya coba searching di google, siapa tau ada yang pernah membuat review terhadap novel ini, dan ternyata ada. Berikut saya kutipkan:

“Syahadat Cinta: Novel Yang Tak Masuk Akal

Sudah pernah membaca novel Syahadat Cinta? Kalo belum saya ceritakan sekilas.
Kesuksesan novel ayat-ayat cinta karya Habiburrahman El-Shirazi menjadi novel best seller membuat pengarang lain berlomba-lomba membuat novel bertema serupa. Salah satunya Syahadat Cinta yang dikarang oleh Taufiqurrahman Al-Azizy. Syahadat Cinta merupakan bagian dari Trilogi, Ma'rifat Cinta dan Musafir Cinta (semua judulnya cinta-cinta).

Syahadat Cinta menceritakan kisah seseorang yang ingin memperdalam agama Islam (Diperankan oleh Iqbal). Kemauannya sangat kuat karena permintaan ibunya sebelum meninggal. Ia pun masuk ke pesantren yang disarankan ibunya. Di pesantren, Iqbal hanya disuruh mengambil air setiap hari, sama sekali belum diberi pelajaran bagaimana caranya mengaji, shalat apalagi membaca kitab kuning. Suatu ketika, Iqbal terlibat konflik dengan santri pesantren. Ternyata santri tersebut adalah anak kyai pemilik pesantren. Iqbalpun melarikan diri.
Dalam perjalanannya melarikan diri inilah Iqbal mendapatkan pengetahuan tentang Islam, tanpa harus mengambil air setiap hari. Iqbal tinggal di rumah seorang pengemis dan banyak mengambil pelajaran dari keluarga pengemis tersebut.

Lantas, tidak masuk akalnya di mana?

Dalam pengasingannya dari pesantren itu, Iqbal mengalami perubahan besar. Dalam 10 hari, ia sudah mampu melaksanakan shalat, sudah menyelesaikan hampir 100 buah buku, sudah bisa mengaji, bahkan sudah hafal beberapa hadits. Di sinilah tidak masuk akalnya.
10 hari adalah waktu yang teramat singkat untuk melakukan itu semua. Setiap harinya iqbal membeli dan membaca 10 buah buku. Ia juga hafal bacaan-bacaan shalat, bisa mengaji dari awalnya buta sama sekali dengan huruf hijaiyyah. Satu hari satu malam ada 24 jam. Mungkinkah semua itu dilakukan? Mari kita kalkulasikan.

Membaca 10 buku. Karena ada buku yang tebal dan buku yang tipis, kita rata-ratakan saja setiap buku 1,5 jam. Artinya Iqbal sudah menghabiskan waktu 15 jam. Kenapa saya ambil satu setengah jam? Karena yang dibaca adalah buku Agama. Iqbal membaca sambil memahami kalimat demi kalimat. Bukan membaca cepat seperti yang kita kenal seperti biasa.
Belajar membaca Alquran. Karena ia belajar pada waktu pagi, siang dan malam, anggap saja memakan waktu 2 jam.

Menghafal bacaan shalat, wudhu, dan menghafal beberapa hadits. Kira-kira 1 jam.
Keluar rumah, ke kampus dan keperluan lain di luar rumah, rata-rata 3 jam.
Shalat lima waktu. Anggap saja setiap waktu menghabiskan waktu 30 menit, sudah termasuk wudhu dan persiapan lainnya. 30x 5 = 2,5 jam.
Istirahat siang = 30 menit.
Makan 3x sehari. Anggap saja setiap makan 30 menit. Jadi totalnya 1,5 jam.
Tidur: 5 jam

Jadi berapa lama ia habiskan waktu sehari semalam? Lebih dari 24 jam.

Satu lagi, di novel Syahadat Cinta diceritakan bahwa Bu Jamilah, tempat di mana ia tinggal, berprofesi sebagai pengemis. Bu Jamilah sendiri seorang yang sangat taat terhadap agama. Pertanyaannya kenapa justru orang yang taat terhadap agama digambarkan sebagai seorang pengemis? Pengemis bukanlah profesi yang mulia. Orang yang mengemis adalah orang tidak mempunyai harga diri. Orang yang beriman lebih baik menahan rasa laparnya dibandingkan dengan meminta-minta. Sangat kontras dengan penggambaran Bu Jamilah. Apalagi anak Bu jamilah sendiri, Irsyad, memiliki pengetahuan islam lebih dibandingkan dengan yang lain.
Iqbal sendiri telah memberikan uang kepada Bu Jamilah karena ia tinggal ditem;pat tersebut. Jumlah uang yang sangat banyak yang nilainya mampu dijadikan jaminan agar Iqbal bisa keluar dari penjara. Agar bebas dari tersangka "teroris". Bisa dibayangkan berapa nominalnya.
Jika ia seorang beriman, maka uang itu lebih halal dibandingkan dengan meminta-minta. Bukankah Rasulullah pernah bersabda: " Barang siapa mampu, tetapi meminta-minta, maka Allah akan membuatkan satu rumah baginya di neraka" Na'udzubillah.”
(http://chodirin.or.id)


Saya setuju dengan pendapat pak Chodirin. Menurut saya, meskipun itu sebuah novel, tapi jika berlatar kehidupan sehari-hari, tetap harus masuk akal. Kecuali jika novel itu bertemakan lain, hal-hal yang bersifat imajinatif. Karena novel tersebut bertemakan Islami, dan mengingat orang Indonesia cenderung “terlalu menjiwai” atau latah mengikuti, apalagi di novel tersebut diselipkan beberapa pemahaman Islam, menurut saya pembahasan tentangnya menjadi suatu keharusan.

Setelah membacanya, saya membuat beberapa catatan. Hal-hal yang tidak sreg di hati saya, walaupun saya awam soal agama. Sebagiannya sudah dipaparkan oleh pak Chodirin.

Yang pertama, tentang masalah khalwat yang difahami Iqbal (penulis?), sang tokoh utama yang mengharuskan adanya dorongan syahwat. Jika tidak ada dorongan syahwat, berdua-duannya laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, tidak bisa disebut khalwat (hal 455-456). Ini berbeda dengan yang saya fahami selama ini yang tidak pernah mendapatkan keharuskan adanya “illat” dalam hal khalwat. Allahu a’lam.

Yang kedua, karakter si Iqbal yang katanya “bengal” sepertinya kurang terbangun. Mulai dari awal cerita, si pengarang sudah memakai bahasa yang menurut saya “terlalu santun” untuk disematkan pada tokoh Iqbal. Apalagi ketika diceritakan, Iqbal bercerita dari A sampai Z kepada dua orang perempuan cantik yang baru dijumpainya. Ah, menurut yang saya amati, laki-laki yang berkarakter “keras” tidak mudah untuk curhat pada sembarang orang, apalagi kepada perempuan yang baru dikenalnya. Kok kesannya jadi bermental lembek dan terkesan ingin dapat simpati si perempuannya ya? Saya tersenyum ketika ada satu komentar di Goodreader tentang hal tersebut : “ketemu sama 2 orang wanita cantik, curhat, benar-benar hayalan tingkat tinggi!” he…he…

Dihalaman 400 sekian, Iqbal mulai terpikat oleh pesona Zainab. Dia jadi malas untuk ibadah, malas menghafal hadits dan Al quran, dll. Ini hal yang masih bisa ditolelir. Tapi di hal 477 ada hal yang perlu dicermati. Disana ditulis: “Zainab adalah manifestasi keindahan Ilahi. Alangkah malangnya orang yang berfikir bahwa seorang Hindu atau Budha itu menyembah berhala. Sebab sesungguhnya yang dia sembah adalah Allah SWT. Berhala adalah wasilah kecintaan seorang Hindu atau Budha kepada Allah sebagaimana orang Kristen yang mencintai Yesus dan Maria”. Innalillahi…dan lagi-lagi itu bisa saya abaikan kalau tidak di akhir cerita, Ihsan salah satu santri di pesantren tersebut, yang biasa mengingatkan Iqbal, malah ingin keluar dari pesantren dan ingin belajar ilmu agama dari Iqbal (hal 518). Setelah saya baca kok seperti seakan ingin memberikan kesan bagi kita yang membacanya bahwa Islam yang seperti inilah yang bagus dan layak diikuti. Ini pendapat saya. Allahu a’lam.

Terakhir, kyai sepuh yang terkesan menyetujui dan menyokong Iqbal. Dan sepertinya perkataannyalah yang menghantarkan kita ke buku berikutnya : “Datanglah 3 tahun lagi”, katanya. Tapi saya sudah kehilangan minat baca untuk 2 novel berikutnya.

Sebagai catatan terakhir, ini yang paling penting, kita harus berhati-hati dengan novel-novel bertema Islami yang membawa misi kaum liberal. Bukankah para ulama sudah memfatwakan haram orang Islam mengambil SPLIS…Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme. Kolaborasi antara kaum liberal dan kapitalis menghasilkan sesuatu yang tidak terasa mengikis dan mencuci otak para pembaca dan penontonnya. Lihatlah, novel ayat-ayat cinta yang subhanallah sarat dengan ilmu dan nuansa Islami (saya setuju dengan novelnya, tapi tidak dengan filmnya), hanya jadi cerita cinta segitiga di layar lebar. Atau tentang Perempuan Berkalung Sorban, yang menuai kontroversi…. Bagaimana dengan novel dan film Syahadat Cinta? Waspadalah…waspadalah…

Allahu a’lam bisshawab.

5 komentar:

  1. Info bagus Ummu...
    Saya pribadi belakangan ini bisa dibilang tidak pernah membaca novel karangan seperti itu. Penyusupan paham Islam sesuai dengan tafsiran pengarangnya itu yang saya coba hindari, dan saya coba belajar terus tentang Islam dengan tetap berusaha menjaga kemurniannya seperti yang dicontohkan Rasululloh SAW dengan metode 'man-qoola'.

    BalasHapus
  2. saya sependapat dgn ummi...
    saya sempat membaca novel kedua. Kesan saya kok tokoh utama, alur cerita seperti 'dipaksakan' dan terlihat sekali mengada-adanya..mungkin tidak jauh beda dgn novel sblmnya. Entah bgmn dgn isi novel 'islami'lainnya...

    BalasHapus
  3. Ummi sudah pernah baca Ketika Cinta Bertasbih karangan Habiburrahman El Shirazi? Insya Allah novel yang membangun jiwa. Saya sudah khatam membacanya (buku 1 dan 2) dalam waktu singkat. Penuh pesan religius, dan alur cerita masuk akal. Insya Allah sebentar lagi filmnya ditayangkan di bioskop sebagaimana Ayat-Ayat Cinta karangan penulis yang sama.

    BalasHapus
  4. Kita patut berhati-hati terhadap promosi novel atau pun film yang covernya Islam tetapi isinya merusak ataupun kontroversial.
    Baru-baru ini ada sinetron yang ditayangkan saat prime time dengan judul Muslimah dan menurut saya sudah mengandung kesyirikan. Seorang anak balita memiliki tiga mata. Mata ketiga nya bisa memancarkan cahaya yang dapat melindunginya dari bahaya, sekaligus dapat menolong orang lain dengan keajaiban matanya.
    Ditambah dengan isu Ponari di media (anak yang memiliki batu yang katanya ajaib), apakah ada benang merah dengan film/novel yang telah dipublish sebelumnya?

    BalasHapus
  5. @ Umi Rina: Yup, benar umi,baca buku apapun jangan sampai melupakan kewajiban kita untuk mempelajari ilmu agama, dengan metode apapun yang tidak menyimpang dan disertai dalil-dalil yg shahih.

    @ Mbak Lela: Betul mbak Lela, kita patut khawatir dengan masuknya faham2 liberal yang akan melunturkan jati diri dan identitas kita sbg seorang muslim. Kita harus bangga dengan Islam.

    @ Kangmastyo: Waktu masih di indo, sy sempat baca k2 novel tsb (lagi2 pinjem teman he3). Isinya memang bagus,cukup idealis, memotivasi, dan masuk akal. Tapi ya musti hati2...jangan sampai berakhir seperti novel ayat2 cinta ketika di film kan.
    Memang udah kacau persinetronan indo ya mas, penuh tahayul, kemewaha,. kekerasan, atau freesex. Tidak ada bagus2nya, sungguh tidak mendidik. Inilah akibat buruk ketika kita mengambil kapitalisme dan sekularisme. Self destruktif, bertentangan dengan fitrah, dan jatuh dalam kehinaan. Na'udzubillahimindzaalik. Tinggalkan kapitalisme, terapkan syariah Islam, Allahu Akbar!

    BalasHapus